

-
Pancasila dan Kepemiluan: Merawat Demokrasi dengan Spirit Kebangsaan
Oleh: Sudirman Haryanto, S.Pd., C.Med.
Anggota Bawaslu Kabupaten Lombok Tengah
Lombok
Tengah (NTB). Suluhtastura.id- Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila.
Momen ini bukan sekadar seremoni kenegaraan, tetapi juga titik refleksi untuk
kembali menakar sejauh mana nilai-nilai Pancasila hadir dalam denyut kehidupan
berbangsa, terutama dalam demokrasi elektoral yang kita jalani hari ini.
Sebagai anggota Bawaslu, saya merasakan langsung bagaimana nilai-nilai itu
diuji dalam dinamika kepemiluan, di mana idealisme kerap bersanding ketat
dengan pragmatisme politik.
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, dalam pidato 1 Juni 1945 di
hadapan sidang BPUPKI menyampaikan lima dasar yang kemudian disebut Pancasila.
Ia bukan sekadar mengusulkan dasar negara, melainkan menyampaikan spirit
kebangsaan yang menyatukan keragaman menjadi satu nusa, satu bangsa, dan satu
bahasa. Pancasila, kata Bung Karno, adalah "philosophische
grondslag", landasan filsafat dan cara hidup bangsa Indonesia.
Jika kita menilik ulang kelima sila dalam konteks pemilu hari ini, kita
menemukan bahwa setiap sila sesungguhnya memuat prinsip-prinsip demokrasi yang
utuh: ketuhanan yang menolak politik uang dan kekuasaan kotor, kemanusiaan yang
menolak kampanye kebencian, persatuan yang menghindari polarisasi politik
identitas, kerakyatan yang menjunjung partisipasi warga, dan keadilan sosial
yang mendorong penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Namun, realitas kepemiluan kita tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai
tersebut. Kita menyaksikan politik transaksional merajalela, hoaks dan
disinformasi menyesaki ruang digital, hingga maraknya politik identitas yang
justru mengoyak kebhinekaan. Dalam kondisi inilah, penting bagi seluruh elemen
bangsa, termasuk penyelenggara pemilu, untuk kembali menghidupkan Pancasila
sebagai pedoman etik dan moral dalam setiap tahapan pemilu.
Menempatkan Pancasila dalam Pengawasan Pemilu
Pengawasan pemilu bukan semata-mata kegiatan administratif atau teknis,
tetapi hakikatnya adalah bagian dari upaya menjaga kemurnian demokrasi yang
digariskan oleh Pancasila. Di tengah tantangan integritas proses elektoral,
Pancasila seharusnya menjadi kompas moral pengawas pemilu. Ia menuntun pengawas
untuk tidak hanya bekerja sesuai aturan, tetapi juga berpegang pada etika
publik dan rasa keadilan sosial.
Bung Karno pernah menyatakan bahwa demokrasi Indonesia harus berjiwa gotong
royong. Ini bukan sekadar simbol kebersamaan, tetapi juga perwujudan prinsip
partisipatif dalam penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini, pengawasan
partisipatif bukan hanya strategi, melainkan mandat ideologis. Keterlibatan
rakyat dalam menjaga pemilu adalah bagian dari pelaksanaan sila keempat: Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Pancasila juga menuntut kita untuk melawan segala bentuk penyimpangan
demokrasi, termasuk kecurangan dalam pemilu. Politik uang, intimidasi pemilih,
hingga manipulasi suara bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi bentuk
pengkhianatan terhadap semangat kebangsaan yang diperjuangkan para pendiri
bangsa.
Menghidupkan Pancasila di Kalangan Pemilih Muda
Bagi saya tantangan besar kita saat ini adalah bagaimana menyampaikan
nilai-nilai Pancasila dalam bahasa yang dimengerti generasi muda, terutama
pemilih pemula. Generasi ini hidup dalam era digital yang serba cepat, dan
sering kali terpapar informasi yang bersifat dangkal bahkan menyesatkan.
Sebagai penyelenggara pengawasan pemilu, kami di Bawaslu Lombok Tengah
telah menginisiasi berbagai program pendidikan pemilih berbasis nilai, termasuk
pelibatan pelajar dalam sosialisasi dan simulasi pengawasan. Dalam setiap
aktivitas itu, kami selalu menekankan bahwa memilih bukan hanya soal hak, tapi
juga tentang tanggung jawab sebagai warga negara yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan dan keadilan.
Menuju Demokrasi yang Berpancasila
Dalam pemilu serentak yang akan datang, tentu kita memerlukan lebih dari
sekadar regulasi. Kita memerlukan kesadaran kolektif bahwa pemilu bukan hanya
tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang memperkuat sendi-sendi
kehidupan berbangsa. Nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi roh yang menjiwai
setiap kampanye, debat, hingga proses penghitungan suara.
Kita perlu menolak politik yang membelah, menolak kekuasaan yang dibeli,
dan menolak demokrasi yang dipenuhi caci maki. Sebaliknya, kita harus
menghidupkan semangat gotong royong, menjunjung tinggi kebenaran, dan
mengedepankan kepentingan rakyat.
Seperti yang dikatakan Bung Karno, "Pancasila adalah jiwa kita, adalah dasar dari revolusi kita, dan adalah perjanjian luhur dari bangsa Indonesia." Maka dalam setiap perhelatan demokrasi, biarlah Pancasila bukan hanya jadi lambang, tetapi menjadi nafas yang menghidupi proses politik kita.
***) Penulis adalah Anggota Bawaslu
Kabupaten Lombok Tengah, aktif dalam pengembangan pendidikan politik dan
pengawasan partisipatif berbasis pelajar dan komunitas pemuda