Ahmad Rodi (Aktivis GMNI Nusa Tenggara Barat))

Bung Karno, Nusa Tenggara Barat, dan Revolusi yang Belum Selesai

Oleh: Ahamad Rodi,  S.Pd

Aktivis GMNI Nusa Tenggara Barat

 


Mataram (NTB) Suluhtastura.id _ Peringatan Hari Lahir Bung Karno pada 6 Juni seharusnya bukan hanya menjadi pengingat atas hadirnya sosok besar dalam sejarah bangsa, melainkan juga menjadi ajakan untuk merenung: sejauh mana warisan pemikiran dan perjuangan Bung Karno masih menuntun arah pembangunan hari ini?

Sebagai tokoh revolusioner dan penggali ideologi Pancasila, Bung Karno pernah menegaskan bahwa kemerdekaan hanyalah “jembatan emas”—yang membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan berdaulat sepenuhnya. Namun, dalam realitas hari ini, terutama di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), kita mesti bertanya: apakah kita telah melewati jembatan itu bersama-sama, ataukah sebagian besar rakyat justru tertinggal di belakang?

NTB: Antara Lompatan Proyek dan Ketimpangan

Dalam dua dekade terakhir, NTB terus dikejar proyek-proyek pembangunan skala besar. Dari industrialisasi halal di Lombok Barat, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Lombok Tengah, pengembangan pertanian dan peternakan di Bima dan Sumbawa, hingga pembangunan pelabuhan dan bendungan berskala nasional. Semua dibalut dengan narasi kemajuan dan percepatan pertumbuhan ekonomi.

Namun pertanyaannya: siapa yang paling banyak menikmati kemajuan itu?

Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa NTB masih berada di lima besar provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia bagian barat, yakni di angka 13,18%. Kesenjangan antara pusat kota dan daerah terpencil masih menganga. Di saat hotel dan sirkuit dibangun di pesisir selatan, masih banyak anak-anak di Dompu, Sumbawa, dan Lombok Timur yang berjalan kaki sejauh belasan kilometer untuk sekolah. Sinyal internet belum merata, infrastruktur dasar di pegunungan masih tertinggal, dan harga hasil tani kerap tak berpihak pada petani.

Pembangunan yang tidak menyentuh akar-akar persoalan rakyat sejatinya hanyalah kosmetik. Bung Karno menyebut itu sebagai pembangunan “tanpa revolusi”. Karena revolusi sejati adalah ketika rakyat kecil menjadi subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek promosi.

Marhaen di NTB Masih Ada

Bung Karno pernah memperkenalkan sosok “Marhaen”—seorang petani kecil di Bandung yang punya cangkul dan tanah, tapi tak berdaya dalam sistem ekonomi yang timpang. Di NTB hari ini, Marhaen hidup dalam sosok petani tembakau di Lombok yang selalu dirugikan tengkulak, peternak sapi di Sumbawa yang tak pernah sejahtera meski ekspor meningkat, nelayan di Teluk Saleh yang kehilangan akses laut karena ekspansi tambang, atau buruh harian di kota Mataram yang gajinya tak sebanding dengan harga sewa kos.

Di sektor pendidikan, banyak mahasiswa dari pedalaman NTB harus bekerja serabutan demi bisa bertahan hidup di kampus. Beasiswa tidak merata, akses literasi digital terbatas, dan pengangguran terdidik meningkat.

Inilah wajah NTB hari ini: provinsi yang penuh potensi, namun belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Dan di sinilah semangat Marhaenisme menjadi relevan kembali—untuk memperjuangkan hak-hak dasar rakyat, memperkuat kemandirian ekonomi lokal, dan menolak eksploitasi yang dikemas dengan nama investasi.

Peringatan Bukan Sekadar Seremoni

Sebagai kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di NTB, kami tidak ingin hari kelahiran Bung Karno hanya menjadi ritual tahunan yang kehilangan makna. Ini harus menjadi panggilan moral dan ideologis untuk terus melanjutkan revolusi kebangsaan yang belum selesai.

Pancasila harus menjadi dasar keberpihakan dalam penyusunan anggaran daerah. Trisakti—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—harus menjadi ruh dari RPJMD, bukan sekadar jargon.

Pembangunan di NTB harus berani menempatkan manusia, bukan hanya angka-angka statistik, sebagai pusat prioritas. Kita butuh kebijakan pendidikan yang berpihak pada anak-anak dari keluarga petani dan nelayan. Kita butuh reformasi agraria yang memastikan tanah dikuasai oleh yang menggarap. Kita butuh ekonomi rakyat, bukan ekonomi korporasi besar yang mencaplok ruang hidup masyarakat.


Bung Karno pernah berkata: “Perjuanganmu lebih berat, karena melawan bangsamu sendiri yang tidak peduli.” Kata-kata itu menggema kembali hari ini, di tengah kemajuan yang seringkali melupakan suara dari dusun dan desa, dari pesisir dan pegunungan, dari kampus dan pasar tradisional.

Di bumi Gumi Paer Dae dan Gumi Nggahi Rawi Pahu, kami menyatakan: revolusi belum selesai. Dan selama masih ada ketimpangan di tanah NTB, selama masih ada rakyat kecil yang belum merasakan keadilan sosial, maka tugas sejarah kita masih panjang.